Minggu, 21 Desember 2014

Pok Nah dan Seorang Cucu

1


Photo by Bai Ruindra
Namanya Maimumah. Saya memanggilnya Pok Nah. Seorang perempuan tua dan janda. Usianya lebih kurang lima puluh lima tahun. Tidak ada yang istimewa dari perempuan kampung ini. Dia sebagai ibu rumah tangga. Sebagai pekerja di sawah. Sebagai perempuan yang selalu menghidangkan makanan enak tiga kali sehari, menurut ukuran enaknya tersendiri. Sebagai perempuan yang selalu mencuci pakaian kotor keluarganya. Sebagai perempuan yang rutin ikut kegiatan di kampung, seperti wirid Yasin dan arisan sepuluh ribu rupiah seminggu sekali. Sebagai ibu dari tiga anak laki-laki dewasa dan seorang anak perempuan yang sudah meninggal tujuh tahun lalu. Dan sebagai seorang nenek. Ya, nenek dari bocah laki-laki warisan berharga anak perempuannya yang telah tiada.
Itulah keistimewaan Pok Nah di mata saya. Perjuangannya membesarkan cucu laki-laki ditinggal mati ibu dan ditinggal pergi ayah justru lebih berat dibandingkan perjuangannya mencari nafkah. Tepatnya, Pok Nah tidak bekerja selain ke sawah saja saat musim tanam dan panen.
Muhammad Rafi nama si bocah laki-laki itu. Ibunya meninggal begitu melahirkannya. Ayahnya juga meninggalkannya sebulan kemudian. Ayahnya beralasan mencari nafkah di belahan bumi Aceh yang lain. Bekerja sebagai buruh kasar. Bulan pertama kepergiannya, ayahnya masih sempat mengirimkan selembar uang lima puluh ribu rupiah untuk Rafi. Bulan kedua tidak ada. Bulan ketiga datang lagi lima puluh ribu rupiah yang sudah lusuh. Bulan selanjutnya, dan seterusnya sampai berselang tahun, Rafi sudah bisa mengeja sebutan “ayah”, tidak pernah lagi selembar rupiah pun singgah ke gubuk sederhana peninggalan suami Pok Nah. Ayah Rafi hilang bagai ditelan bumi. Belakangan laki-laki yang seharusnya dipanggil ayah oleh Rafi itu dikabarkan akan menikah. Pernikahan yang berlangsung bahagia itu hanya didengar Pok Nah dari mulut orang lain. Pernikahan yang tak seharusnya didengar Pok Nah. Bukan karena ayah Rafi lupa memberi undangan saja, tetapi perempuan yang dinikahi ayah Rafi adalah ponakan jauh suami Pok Nah. Seakan melupakan Rafi yang ditinggal ibunya, laki-laki itu bahagia bersama istri barunya.
Kasihan Rafi tidak memiliki ibu dan ayah. Entah karena tidak mengenal ibu dan ayah. Entah karena kedekatannya dengan Pok Nah. Entah karena sosok ibu tak pernah ada dalam ingatannya. Entah karena ingatan kecilnya hanya mengingat Pok Nah seorang. Rafi memanggil perempuan tua itu dengan sebutan sayang, “Mak!”
Benar. Rafi tidak memanggil Pok Nah dengan sebutan nenek. Seperti seharusnya dilakukan bocah itu. Pok Nah tidak keberatan Rafi melakukan hal demikian. Baginya, Rafi adalah anak dan cucu dari anak perempuannya dan bocah malang yang ditinggal pergi ayah kandungnya.
Tiap hari Rafi menyusahkan Pok Nah dengan tingkahnya yang susah diatur. Rafi menjadi bocah liar. Agresif terhadap sesuatu. Tidak takut pada apapun yang diucapkan Pok Nah. Rafi akan merengek sepanjang hari jika Pok Nah tidak bisa memenuhi kebutuhannya. Ketiga anak laki-laki Poh Nah juga tidak bisa berbuat banyak, mereka masih bekerja tidak tetap. Tentu saja, karena Rafi hanya keponakan bagi mereka.
Terlepas dari semua itu, Pok Nah tak pernah membuat Rafi bersedih. Rafi selalu tersayang. Rafi adalah belahan jiwa yang dilupakan ayahnya. Rafi merupakan anugerah yang tak bisa diabaikan hadirnya.
Pok Nah selalu tersenyum pada kehidupannya yang rumit. Termasuk pada saya, Pok Nah tak pernah menampakkan sedihnya. Candaannya melupakan derita di gubuk kayu hampir roboh itu.

Bersabar saja, Pok Nah. Karena Tuhan tidak pernah tidur melihat ciptaan-Nya terluka! 
****
Sumber: Bai Ruindra

1 komentar:

  1. Wah.... cerita ini memilukan hati saya. Terima kasih sudah memuatnya kembali di sini. Semoga menginspirasi ya!

    BalasHapus