Photo by Bai Ruindra |
Namanya Maimumah. Saya memanggilnya Pok Nah.
Seorang perempuan tua dan janda. Usianya lebih kurang lima puluh lima tahun. Tidak
ada yang istimewa dari perempuan kampung ini. Dia sebagai ibu rumah tangga.
Sebagai pekerja di sawah. Sebagai perempuan yang selalu menghidangkan makanan
enak tiga kali sehari, menurut ukuran enaknya tersendiri. Sebagai perempuan
yang selalu mencuci pakaian kotor keluarganya. Sebagai perempuan yang rutin ikut
kegiatan di kampung, seperti wirid Yasin dan arisan sepuluh ribu rupiah seminggu
sekali. Sebagai ibu dari tiga anak laki-laki dewasa dan seorang anak perempuan
yang sudah meninggal tujuh tahun lalu. Dan sebagai seorang nenek. Ya, nenek
dari bocah laki-laki warisan berharga anak perempuannya yang telah tiada.
Itulah keistimewaan Pok Nah di mata saya.
Perjuangannya membesarkan cucu laki-laki ditinggal mati ibu dan ditinggal pergi
ayah justru lebih berat dibandingkan perjuangannya mencari nafkah. Tepatnya,
Pok Nah tidak bekerja selain ke sawah saja saat musim tanam dan panen.
Muhammad Rafi nama si bocah laki-laki itu.
Ibunya meninggal begitu melahirkannya. Ayahnya juga meninggalkannya sebulan
kemudian. Ayahnya beralasan mencari nafkah di belahan bumi Aceh yang lain.
Bekerja sebagai buruh kasar. Bulan pertama kepergiannya, ayahnya masih sempat
mengirimkan selembar uang lima puluh ribu rupiah untuk Rafi. Bulan kedua tidak
ada. Bulan ketiga datang lagi lima puluh ribu rupiah yang sudah lusuh. Bulan selanjutnya,
dan seterusnya sampai berselang tahun, Rafi sudah bisa mengeja sebutan “ayah”, tidak
pernah lagi selembar rupiah pun singgah ke gubuk sederhana peninggalan suami
Pok Nah. Ayah Rafi hilang bagai ditelan bumi. Belakangan laki-laki yang
seharusnya dipanggil ayah oleh Rafi itu dikabarkan akan menikah. Pernikahan
yang berlangsung bahagia itu hanya didengar Pok Nah dari mulut orang lain.
Pernikahan yang tak seharusnya didengar Pok Nah. Bukan karena ayah Rafi lupa
memberi undangan saja, tetapi perempuan yang dinikahi ayah Rafi adalah ponakan
jauh suami Pok Nah. Seakan melupakan Rafi yang ditinggal ibunya, laki-laki itu bahagia
bersama istri barunya.
Kasihan Rafi tidak memiliki ibu dan ayah. Entah
karena tidak mengenal ibu dan ayah. Entah karena kedekatannya dengan Pok Nah.
Entah karena sosok ibu tak pernah ada dalam ingatannya. Entah karena ingatan
kecilnya hanya mengingat Pok Nah seorang. Rafi memanggil perempuan tua itu
dengan sebutan sayang, “Mak!”
Benar. Rafi tidak memanggil Pok Nah dengan
sebutan nenek. Seperti seharusnya dilakukan bocah itu. Pok Nah tidak keberatan
Rafi melakukan hal demikian. Baginya, Rafi adalah anak dan cucu dari anak
perempuannya dan bocah malang yang ditinggal pergi ayah kandungnya.
Tiap hari Rafi menyusahkan Pok Nah dengan tingkahnya
yang susah diatur. Rafi menjadi bocah liar. Agresif terhadap sesuatu. Tidak
takut pada apapun yang diucapkan Pok Nah. Rafi akan merengek sepanjang hari
jika Pok Nah tidak bisa memenuhi kebutuhannya. Ketiga anak laki-laki Poh Nah
juga tidak bisa berbuat banyak, mereka masih bekerja tidak tetap. Tentu saja,
karena Rafi hanya keponakan bagi mereka.
Terlepas dari semua itu, Pok Nah tak pernah
membuat Rafi bersedih. Rafi selalu tersayang. Rafi adalah belahan jiwa yang
dilupakan ayahnya. Rafi merupakan anugerah yang tak bisa diabaikan hadirnya.
Pok Nah selalu tersenyum pada kehidupannya yang
rumit. Termasuk pada saya, Pok Nah tak pernah menampakkan sedihnya. Candaannya
melupakan derita di gubuk kayu hampir roboh itu.
Bersabar saja, Pok Nah. Karena Tuhan tidak
pernah tidur melihat ciptaan-Nya terluka!
****
Sumber: Bai Ruindra
Wah.... cerita ini memilukan hati saya. Terima kasih sudah memuatnya kembali di sini. Semoga menginspirasi ya!
BalasHapus